Selamat Datang di Yayasan Nurussyamsi

Yayasan Nurussyamsi adalah yayasan terbesar di kota Depok.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pensi dan Wisuda

Pensi dan Wisuda di Cabang Nurussyamsi Jembatan Serong.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat datang Siswa-siswi Baru di Yayasan Nurussyamsi

Mukadimah

Bismillah, teriring do'a Ikhwah semoga kita senantiasa dalam ketaatan dan menetapi jalan kebenaran dijalan Allah 'azza wa jalla dan RasulNya

Dari Al Aghar bin Yasar Al Muzanniy radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Wahai manusia, Bertaubatlah kalian kepada Allah ta'ala dan mohonlah ampun kepadaNya, sesungguhnya saya bertaubat seratus kali setiap hari." (HR. Muslim)

Wahai saudara marilah kita membiasakan dan berusaha untuk selalu bertaubat kepada Allah ta'ala setiap hari, setiap saat, setiap waktu, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam sendiri beliau seorang yang dijaga dari dosa dan diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang oleh Allah ta'ala, beliau sendiri merasa takut sekali kepadaNya, lalu bagaimana dengan kita ? Kita berdoa kepada Allah ta'ala agar kita dijaga dari perbuatan dosa dan dijadikan kita semua termasuk kedalam golongan hamba-hambaNya yang ikhlas bertaubat kepadaNya. أمين Allahu musta'an

Kata Mutiara

QS Al-Baqarah : 45

Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

Kata Mutiara

Hari kemarin adalah mimpi dan hari esok adalah visi, jangan jadikan hari kemaren sebagai sebuah penyesalan dan jangan pula menatap hari esok dengan ketakutan.
Kita selalu berharap pengalaman kemarin selalu bisa bermanfaat hari ini dan rencana hari ini bisa berguna esok hari.
Semua itu adalah harapan dan harapan adalah bagian dari doa.
Sama seperti doa, tidak semua harapan terwujud dengan nyata dan hal tersebut tidak perlu menjadikan kita berhenti untuk berharap.

Sabtu, 26 Desember 2009

Bahasa Inggris, Sulit Dipelajari atau Sulit Diajarkan? * Bukan itu yang perlu dicemaskan......

Bahasa Inggris, Sulit Dipelajari atau Sulit Diajarkan? * Bukan itu yang perlu dicemaskan......

"Dar der dor..", begitu culpikan lirik lagu "Sugali" yang dilantunkan Iwan Fals. Untuk menggambarkan bunyi senapan, telinga Indonesia kita mendengarnya seperti lagu Iwan itu. Bagi para bule', yang mereka dengar justru bunyi "bang..bang.!". Rentang 'dor' dan 'bang' tentu jauh. Lalu, telinga siapa yang rusak?
(disadur dari email kiriman teman, Gagah Samudra, di UK)

DOKTRIN belajar bahasa Inggris di Indonesia memang lumayan canggih. Ukurannya penutur asli (native speaker). Lidah pebelajar yang sudah 'diindonesiakan' dibuat sedemikian rupa agar bisa menyerupai pelafalan penutur asli. Jika pelafalan tidak mirip penutur asli, maka orang kita (orang Indonesia juga) akan menganggap bahasa Inggris Anda tidak bagus. Anggapan seperti itu akan bermuara pada dua kemungkinan. Pebelajar bahasa Inggris mungkin akan termotivasi atau malah sebaliknya; frustasi.

Alasan lain, kultur sudah membentuk sebagian besar dari kita untuk menghindari 'salah' di depan umum. Dan, itu berlaku untuk hampir semua bangsa Asia, termasuk Cina, Korea, dan Jepang. Keumuman di kalangan bangsa Asia itu telah diteliti oleh seorang pakar bernama Kitao yang dikutip di salah satu Jurnal Pengajaran Bahasa Inggris di Astralia. Implikasinya jelas, kita takut mengakui kesalahan bahkan cenderung menyembunyikannya.

Kultur itu juga terimbas pada kami pertama kali hendak berkomunikasi lewat telepon dengan layanan pelanggan di Australia. Dengan bahasa Inggris pas-pasan, ragu dan takut, padu jadi satu. Tidak jadi menelpon, itu yang tersering. Seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dengan budaya mereka yang sudah maklum betul dengan lidah Asia. Lidah terbentur, mereka tidak menegur, hanya memperjelas. Apakah budaya kita yang perlu direkonstruki? Tegasnya, tidak! Adaptasi yang perlu. Secara pribadi dan perlahan, kita mampu melakukannya. Melakukan kesalahan berbahasa yang bukan bahasa kita tidak perlu cemas apalagi takut. Bukankah kesalahan juga sarana belajar yang efektif? Bagaimana dengan anak-anak kita di daerah-daerah? Kelihatannya hal-hal di atas tidak begitu mengkhawatirkan. Mereka yang sudah terbiasa mendengan ujaran-ujaran berbahasa Inggris dari film-film Amerika atau lagu-lagu barat akan fasih mengujarkan beberapa ujaran tertentu. Terutama yang paling kerap terdengar di telinga mereka seperti "Cool, man!" itu akan otomatis mereka baca dan ujarkan "kuul meen!". Sukur-sukur kalau mereka mengerti maksudnya dan sesuai dengan budaya kita sendiri.

Yang menggemaskan hanya kecenderungan mereka meniru ujaran yang melanggar etika kesopanan timur. Tak usahlah dipaparkan di sini sebab mungkin pembaca sudah paham yang saya maksudkan. Bagi mereka, pendapat Skinner sang pelopor aliran perilaku mungkin tepat. Mereka mampu belajar bahasa Inggris dengan meniru ujaran itu dan diikuti dengan stimulus respons plus penguatan dengan imbalan. Jika masyarakat menegur, mereka ketus dan putus asa. Jika tidak, mereka terus.


Kesulitan umum yang dihadapi pebelajar bahasa Inggris berlidah daerah yang dominan hanyalah kemampuan pelafalan. Selebihnya, relatif sama dengan bangsa lainnya. Bagi kita yang sudah terbiasa berkomunikasi verbal dengan bahasa daerah misalnya, akan sedikit terpengaruh dalam mengujarkan leksikon bahasa Inggris. Bahkan bahasa Indonesia pun masih kadang hiperkorek. Dan, hiperkorek seringkali jadi bahan tertawaan seperti kasus di Makassar yang kelebihan vitamin 'G' (Makan ikan = Makang ikang). Walhasil, "Ai dong laik Inggelis" (I don't like English).


Guru bhs Inggris dan orangtualah yang mungkin paling banyak mengeluh jika nilai bhs Inggris anak-anak kita pada rentang 3 - 5 saja. Sudah les, dikursuskan, suka nonton dan dengar lagu barat, meeting tiap minggu, tapi hasilnya masih juga begitu. Lalu? Jangan cemas. Nilai bhs Inggris di sekolah hanyalah standar prestasi, bukan penggambaran kemahiran. Mungkin kita lupa kalau bahasa asing tidak mungkin bisa dikuasai semahir bahasa Indonesia kita dalam tempo 3 tahun dan tetap di Indonesia. Terlalu banyak faktor penghambat yang harus didobrak.


Tapi, bukankah bhs Inggris akan jadi bahasa Global? Bagaimana nasib anak-anak kita (tahun depan)? Pekerjaannya? Posisinya? Statusnya? Bangsa kita? Deretan pertanyaan sejenis itu sulit dijawab oleh guru bhs Inggris, sekolah, atau pemerintah dan bahkan pakar-pakar bahasa kedua sekalipun.


MacNamara memang pernah menyinggung di buku Gardner (Social Psychology in Second Language Learning, the Role of Attitude and Motivation) bahwa di era global, negara di dunia ketiga akan cenderung memilih bahasa yang memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan dominasi politik.


Inilah yang dicemaskan Alastair Pennycook dengan peran paradoksal bhs Inggris. Bahasa Inggris ibarat pisau bermata dua. Di samping sebagai alat komunikasi efektif di dunia global, juga sebagai alat imperialisme dan kolonialisme Barat model baru. Semua bangsa 'diharuskan' bisa berbahasa Inggris untuk kepentingan komunikasi verbal. Pada saat yang sama, budaya dan bahasa kita telah dikikis perlahan dan dipandang sebelah mata.


Apa yang diramalkan Pennycook memang akan benar adanya. Bahasa Inggris menjadi neo-imperialism. Bukankah jelas kalau bahasa Inggris sudah mampu mengkastakan manusia di Negara ketiga. Sengaja dikondisikan sedemikian rupa agar bangsa kita tetap menjadi bangsa terjajah dan terbelakang. Untuk menghindari booming posisi yang menjanjikan bagi bangsa kita, bahasa Inggris dijadikan alasan untuk menghalangi kemampuan mereka. Walhasil, bangsa West tetap menduduki posisi strategis dalam segala bidang. Itu karena kita mau dan sepakat mengiyakan.


Terlepas dari peran ganda bahasa Inggris, harus kita terima bahwa sudah teramat sulit untuk lepas dari dominasinya. Kita perlu bahasa Inggris. Untuk menjawab tantangan global dan pasar bebas, kita tidak bisa berharap banyak dari lembaga pendidikan formal. Belajar bahasa Inggris tidak bisa dengan 3 X 24 jam seperti tawaran buku-buku. Atau, mahir dalam 3 bulan seperti iklan kursus yang selalu bersemi. Kita perlu waktu lebih lama sebab belajar bukan pemerolehan. Memang benar bahwa belajar bahasa asing haruslah seumur hidup sebab bahasa itu hidup dinamis dan terikat dalam budaya lingkungan penuturnya.


Konfrontasi budaya akan terjadi jika kita memaksakannya. Contoh, apakah mungkin di kelas guru mengajarkan materi dengan konteks 'sexism' atau 'drug party' yang di konteks asalnya ibarat nasi goreng kita di pagi hari? Telaahlah buku teks terbitan asing. Mengajarkan "Good morning" saja (maaf) masih harus pintar-pintar negosiasi dulu dengan "Assalamualaikum". Minimal negosiasinya dengan keyakinan kita sendiri. Merusak tatanan nilai atau tidak? Yang pasti, kelas tidak mungkin mampu menyediakan situasi yang persis sama dengan konteks yang sebenarnya.


Kita jangan lupa kalau bahasa Inggris di sekolah diajarkan juga karena 'terpaksa'. Kelas berisi sekitar 45-an siswa dengan latar belakang dan kapasitas yang berbeda. Kurikulum, tidak ada yang lebih baik. Metode pengajaran, pun demikian. Guru mengajar ibarat supir pete'-pete' mengejar setoran. Belum lagi sebagian bahan tes UAN yang maksudnya menguji kemampuan berbicara disajikan secara tertulis (?). Tes 'bicara' kan seharusnya bicara.

Iseng-iseng, pernahkah kita memperhatikan roster yang disusun pihak sekolah? Bhs Indonesia, bhs Inggris, bhs Daerah dan bhs Arab (di Mts) diajarkan pada hari yang sama. Alamak, perang empat bahasa dan empat budaya.

Jika kasusnya di pondok pesantren, ceritanya jadi lain. Paling tidak, pemondok memiliki kelebihan di sisi pembentukan kebiasaan. Dan, itu perlu dalam belajar bahasa. Komunikasi terjadi setiap saat dan mereka menghindari panggilan sidang di mahkamah bahasa. Walaupun hasilnya pasaran, sudah lumayan bagus. Toh, bahasa Inggris juga tak bisa menghindari kemunculan variasinya. Sebutlah misalnya Singaporean English, American English, British English, Australian English, dan Canadian English. Kenapa tidak Indonesian English? Tapi kalau di SLTP umum atau di SMU dengan intensitas pertemuan di kelas hanya sekitar 3 jam setiap minggunya, tidak bisa dijamin. Sungguh, kecerdasan dan bakat bahasa anak-anak kita orang perorang tidak perlu dicemaskan. Itu soal kognitif. Namun, bagaimana dengan afektif domainnya? Persepsi, sikap dan motivasi diakui berpengaruh banyak dalam belajar bahasa. Selain itu, cara dan strategi belajar juga turut berpengaruh. Apakah anak-anak kita memiliki dan membawanya ke kelas? Ini tantangan bagi guru bahasa Inggris.


Jika anak-anak berpersepsi bahwa bahasa Inggris sulit, sikapnya mungkin akan negatif terhadap bahasa Inggris. Biasanya mereka jadi malas ikut pelajaran itu, nongkrong di kantin sekolah atau di toilet dan bahkan kadang sampai loncat pagar. Otomatis mereka tidak termotivasi untuk berprestasi di bidang studi bahasa Inggris. Untuk memotivasi mereka di dalam kelas, diperlukan kreativitas guru menyulap suasana kelas yang membosankan jadi menyenangkan. Hanya saja guru memang bukan pesulap. Mereka hanya insan biasa yang punya keterbatasan. Menyenangi guru bahasa Inggris juga salah satu motif yang bisa mengantar anak mencintai mata pelajaran tersebut. Walaupun sisi ini tidak banyak membantu, paling tidak anak-anak tetap setia mengikuti pelajaran hingga bel menyatakan pelajaran selesai seeiring dengan selesainya paragraf ini.

Jumat, 25 Desember 2009

KIAT MENANGKAL PELANGGARAN KETERTIBAN SEKOLAH

KIAT MENANGKAL PELANGGARAN KETERTIBAN SEKOLAH

Ketertiban siswa sering kali kita dengar sebagai suatu masalah di sebuah sekolah , apalagi pada jenjang sekolah menengah yang siswa- siswanya beranjak dewasa dan mulai belajar mengenal jati diri pribadinya.dimana siswa sering melakukan pelanggaran di sekolah. Kondisi yang tidak menguntungkan dan cukup memprihatinkan ini, sekolah secara umumnya membentuk Tim Ketertiban Sekolah agar sekolah menjadi lebih baik. Namun sering kali tidak efektif dan mengalami banyak halangan serta hambatan dilapangan. Selain harus mengeluarkan dana tambahan dengan membentuk tim ketertiban, namun sering kali tidak efektif karena tidak didukung oleh guru- guru yang lainnya dan keterbatasan guru serta kepeduliannya kurang terhadap siswa.

Siswa secara psikologis menurut Mulyani (1988) pada umur 12 - 18 tahun dimana perkembangan anak digolongkan sebagai remaja yang mempunyai keinginan baru dan membutuhkan sarana aktivitas yang lebih untuk menumpahkan segala kegiatannya sehingga dengan minimnya sarana dan prasarana mudah membuat siswa akhirnya dapat menimbulkan permasalahannya dari ketertibannya.

Input siswa yang serba kekurangan yang merupakan sisa dari sekolah- sekolah favorit dimana sekolah yang tidak favorit menjadi tempat pelimpahan dari siswa yang perilaku siswanya sering tidak masuk katagori baik akhirnya menjadi masalah ketertiban sekolah semakin meningkat.

Peran orang tua dalam hal kepedulian ketertiban sekolah sangat besar dalam pembentukan psikologis siswa karena waktu yang dipergunakan lebih banyak di rumah dan lingkungannya. Pergaulan serta teman bermain sangat menentukan perkembangan anak. Pengawasan masyarakat dan kontrol umpan balik masyarakat sangat diperlukan mengingat perilaku siswa diluar sekolah melambangkan kualitas penanganan sekolah tersebut..

Apalagi dalam situasi keluarga pasca modern dengan kesibukan kedua orang tuanya sehingga mereka tidak mampu mengawasi anaknya dengan baik. akan membawa dampak terhadap pelanggaran ketertiban di sekolah. Menurut Anita ( 1996) hal ini disebabkan banyaknya suami istri bekerja sama- sama mencari nafkah, angka perceraian tinggi, sejumlah keluarga diasuh satu keluarga saja sehingga anak diasuh oleh pembantu atau lebih tepatnya dibesarkan pembantu.

Sebagai langkah awal dalam upaya untuk menanggulangi upaya ketertiban yaitu

1.Meningkatkan disiplin anak & sedikit demi sedikit mengurangi indisipliner pembelajaran
2.Mewujudkan kinerja sekolah.yang dinamis, mengasyikkan, menyenangkan & mencerdaskan
3.Mengadakan antisipasi dalam mengatasi berbagai hal dalam proses pembelajaran.
Menurut Nursisto (2002) ada beberapa langkah yang dapat digunakan dalam upaya mengatasi ketertiban sekolah dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketertiban yang ada di sekolah.

a. Langkah strategis mencegah siswa yang suka mencoret- coret .

1. Menggalakkan pelaksanaan kegiatan 6 K.
2. Tempat duduk siswa sesuai dengan denah yang telah ditentukan.
3. Sebulan sekali diadakan bersih lingkungan sekolah termasuk didalam kelas.
4. Setiap satu satu semester dilakukan kerja bakti massal sekolah.
5. Dicantumkan sanksi bagi pelaku corat coret didalam tata tertib sekolah.
6. Dalam suatu kesempatan tertentu diberikan tugas oleh guru agar siswa membuat karangan bertemakan corat coret.
7. Satu atau dua menit setiap jam pelajaran berlangsung, guru memeriksa lingkungan didalam kelas.
8. Dilaksanakan lomba kebersihan dan keindahan kelas dalam setiap event kegiatan sekolah.
9. Bila tingkat kesadaran para siswa sudah tumbuh, piket membersihkan ruangan dilakukan siang hari.

b. Langkah mencegah Siswa membawa alat main dan buku porno.

1. Sering dilakukan rasia dengan tiba- tiba. Tim ketertiban secara mendadak masuk dalam semua kelas serentak dan isi tas satu persatu diperiksa dengan teliti.
2. Menyita barang terlarang yang kedapatan di dalam tas atau tersimpan dalam meja siswa
3. Ketika sedang mengajar guru memperhatikan kondisi siswa.
4. Ketika mengajar guru sesekali memberikan pertanyaam kepada siswa.
5. Posisi guru mengajar jangan hanya selalu didepan kelas, kadang kala di belakang kelas.
6. Mencantumkan pelarangan membawa barang yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran.
7. Guru BP diaktifkan peranannya agar jangan melakukan hal- hal terlarang tadi.

c. Langkah mencegah Siswa merokok dan membawa narkoba lebih pelik dibandingkan keduanya, langkahnya sebagai berikut :

1. Dilakukan penggeledahan isi tas siswa.
2. Secara khusus sekolah melakukan pengawasan kepada beberapa siswa yang patut dicurigai.
3. Pihak sekolah melakukan kerja sama dengan pihak- pihak lain di luar sekolah misalnya warga sekitarnya, kepolisian dan pemerintah setempat.
4. Memberikan laporan secepatnya kepada orang tua apabila siswa terjadi tanda- tanda menggunakan rokok dan narkoba.
5. Diadakan ceramah penyuluhan tentang bahaya merokok atau mengkonsumsi narkoba oleh pihak yang berkompetensi.
6. Perlunya dikembangkan budi pekerti yang dikaitkan dengan pelajaran agama.
7. Orang tua mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat pelanggaran merokok dan narkoba sanggup dikeluarkan.

d. Langkah mencegah perkelahian siswa dilingkungan sekolah maupun luar sekolah.

1. Sekolah menyediakan media penyaluran bakat dan minat siswa sehingga mampu menyalurkan energinya yang secara berlebihan lewat kegiatan ekstra kurikuler yang diadakan sekolah.
2. Dibentuknya tim- tim olah raga dan seni di bidang- ekstra kurikuler.
3. Pembuatan program- sekolah dengan memberi peluang untuk siswa agar mampu menuangkan prestasi dan hasil seninya.
4. Perlunya kerjasama dengan pihak pengurus OSIS yang ada di lingkungan sekolah lainnya dalam upaya agar kalau terjadi sesuatu hal maka dapat menjadi penengah.
5. Dilakukan program bersama dan kegiatan terpadu dalam kegiatan pengurus OSIS yang ada dilingkungan sekolah lainnya pada saat momen yang tepat.

e. Langkah mencegah siswa tidak menggunakan seragam dan kelengkapan dengan baik

1. Guru meluangkan waktu sebentar untuk mengingatkan da menegur siswanya disetiap awal pelajaran dimulai terutama jam pertama pelajaran agar selalu menggunakan pakaian secara baik.
2. Adanya kontinuitas dari petugas BP dan Tim ketertiban agar melakukan penertiban seragam yang tidak sesuai ketentuan.
3. Melakukan razia secara mendadak dengan menertibkan siswa yang bajunya tidak sesuai dengan ketentuan.
4. Mencantumkan sanksi bagi siswa yang tidak menggunakan seragam sesuai ketentuan didalam tata tertib sekolah.

f. Langkah dalam membuat tabel point disiplin siswa.

1. Diperlukan komitmen dari guru dan siswa mengenai apa saja yang dapat dijadikan ukuran dalam meningkatkan disiplin sekolah serta disepakati bersama dalam tabel point disiplin siswa.
2. Diperlukan sosialisasi ke siswa dan orang tua berkaitan tabel point kedisplinan siswa di sekolah.
3. Orang tua mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat pelanggaran point kedisplinan sekolah dan sanggup dikeluarkan.
4. Diberikan reward penghargaan bagi siswa dan kelas yang point melanggarnya rendah.
5. Adanya kontinuitas dari petugas BP dan Tim ketertiban agar melakukan evaluasi kegiatan berkaitan dengan tabel point kedisplinan siswa.
6. Mengumumkan secara kontinu siswa dan kelas yang mempunyai point kedisplinan yang tertinggi dan terendah.

Didalam upaya ketertiban siswa di sekolah, tidak hanya siswa saja yang dijadikan obyek yang selalu disalahkan namun diperlukan juga manajemen sekolah yang baik agar dalam pelaksanaan ketertiban sekolah dapat berjalan dengan baik.

Langkah- Langkah yang dilakukan sekolah berkaitan dengan ketertiban sekolah.

1. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara baik.
Sering kali pelanggaran ketertiban siswa muncul diawalai pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) yang kurang baik dan sistem inval dari guru piket tidak berjalan secara baik, apabila guru tidak masuk karena sesuatu hal maka sering kali kelas kosong dan tidak ada pengawasan dari guru. Sehingga diperlukan suatu system kerjasama antara pihak- pihak yang ada di sekolah baik guru, siswa , orang tua dan kepala sekolah sebagi manajer disekolah dapat dilakukan secara baik

2. Penuntasan Peserta Didik Bermasalah.
Dengan menangani anak didik yang bermasalah secara tuntas dengan segera maka dapat mencegah timbulnya masalah- masalah yang semakin banyak dan menumpuk sehingga tertanganinya anak didik bermasalah secara baik pula. Disini peran petugas BP dan wali kelas sangat besar dalam upaya membina anak didiknya dikelas

3. Pembinaan Keimanan & Ketaqwaan (Imtaq).
Dalam membangun Imtaq siswa tidak hanya beban dari orang tua saja namun diperlukan kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Perpijak dari hal tersebut baik orang tua, sekolah dan masyarakat melakukan pengawasan dan pengendalian agar mampu membina siswa dengan melakukan kegiatan keagamaan di sekolah dan dimasyarakat bila perlu dikembangkan MPMBI (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Imtaq) di sekolah.(Tirto Adi: 2002)

Hal hal yang perlu dikembangkan dalam upaya meningkatkan ketertiban sekolah terhadap :

a. Siswa .
Dengan mendukung terwujudnya visi, misi sekolah yang aman dan adil. Sebahagian siswa yang acuh tak acuh dilibatkan peranannya dalam kegiatan disekolah. Dan dikembangkan pada siswa semangat dan merasa bangga punya disiplin poin yang rendah

b. Guru.
Guru mendukung dalam menjalankan disiplin yg komprehensif dan diperlukan sosialisasi dalam hal ketertiban sekolah bagi guru yang masih belum memahami esensi yg sebenarnya. Perlu dikembangkan perasaan bangga karena anak didik tunjukkan sikap disiplin yg dikehendaki dan meningkatkan motivasi dalam hal menangani anak bermasalah.dan tidak menjadi beban terhadap diri-sendiri.

c. Orang tua dan Masyarakat
Mendukung sekolah.yang punya disiplin sekolah yang seperti ini. Untuk sebahagian masih ada yang kurang mengerti diperlukan sosialisasi agar mengerti perlunya ketertiban di sekolah. Dikembangkan rasa bangga karena ada perubahan pada sikap anak mereka setelah anaknya dibina di sekolah serta meningkatkan keterlibatannya di sekolah.

MENGHARGAI KEUNIKAN ANAK

MENGHARGAI KEUNIKAN ANAK

Setiap anak memiliki keunikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu diharapkan orang tua dan pendidik dapat mengenali keunikan-keunikan tersebut dalam bentuk kecerdasan. Dahulu kita mengenal Intelligence Quotient (IQ) yang diperkenalkan oleh Alfred Binet, dimana IQ akan menentukan keberhasilan pendidikan anak. Sedangkan, pada saat ini Gardner telah mengenalkan kita dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) Setiap anak memiliki semua kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner, dimana kecerdasan linguistik, logis-matematis, kinestetik-jasmani, musikal, antarpribadi, interpribadi dan naturalis diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki manusia. Setiap anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang mereka miliki dengan bimbingan orang tua dan guru. Mereka juga dapat menunjukkan kemampuan yang sesuai dengan kecerdasannya.

Seorang anak yang "bodoh" di dalam kelas, dimana selalu mendapat rangking terakhir bukanlah anak yang tidak cerdas. Setiap anak, pasti memiliki kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner. Mungkin anak yang tertinggal tersebut tidak memiliki kecerdasan logis-matematis atau linguistik yang banyak dimaksimalkan di dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kemungkinan dia memiliki kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasaran interpribadi atau kecerdasan naturalis.

Anak anda mungkin senang menulis cerpen, puisi atau juga memiliki prestasi tinggi dalam mata pelajaran menulis. Dari kecenderungannya ini, anak tersebut memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Tapi, jika anda pernah diberi pertanyaan oleh seorang anak seperti "mengapa langit biru" atau "dimana akhir alam semesta", maka anda perlu menyadari bahwa anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengikuti kecerdasan logis-matematisnya. Selain itu, seorang anak juga ada yang lebih senang menirukan gerakan orang lain dari pada menggambar. Jika dia senang bergerak menirukan orang lain maka ia memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemudian, anak yang lebih senang menggambar dan menonjol dalam mata pelajaran seni memiliki kecerdasan spasial.

Setiap anak juga memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar yang lebih senang diiringi musik biasanya memiliki kepekaan terhadap musik. Menurut Armstrong (2002: 31), anak tersebut memiliki kecerdasan musikal yang perlu diasah dengan memberikan aktivitas belajar melalui musik.

Salah satu cara untuk melihat kecerdasan apa yang dimiliki seorang anak, kita bisa memperhatikan mereka saat bermain. Sering kali ketika bermain, anak lebih senang sendiri atau bergabung dengan teman-temannya. Jika dia lebih senang bersosialisasi dengan teman-temannya atau bahkan belajar bersama-sama, anak tersebut memiliki kecerdasan antarpribadi. Selain itu, anak yang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah teman sebayanya juga memiliki kecerdasan ini. Tetapi, jika anak anda lebih senang belajar dan beraktivitas sendiri, maka dia memiliki kecerdasan interpribadi. Biasanya anak tersebut memperlihatkan sikap independen dan kemauan yang kuat.

Lingkungan alam di sekitar kita bisa dijadikan sebagai objek yang menarik bagi anak yang memiliki kecerdasan naturalis. Kecenderungan anak ini akrab dengan hewan peliharaannya atau tumbuhan yang dia rawat. Jangan heran, jika anak anda senang membawa pulang tumbuhan atau hewan untuk ditunjukkan kepada keluarganya.

Dari kedelapan kecerdasan tersebut, orang tua maupun pendidik perlu untuk menyadari adanya perbedaan kemampuan anak. Dari semua kecerdasan ini, anak dapat diarahkan sesuai dengan kecerdasan yang ia miliki. Sekolah, sebagai institusi yang mewadahi pendidikan perlu mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki anak supaya mereka dapat memperkuat kecerdasan yang mereka miliki.

Rabu, 23 Desember 2009

SHALAT Bagian 1&2

SHALAT (1/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam system keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah." [3]

Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.

Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)

Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsure bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan", yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a 'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas - "hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap menghadap Allah.

Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu), dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5] Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]

Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup), karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]

Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya"; dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits. [8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di Sidrat al-Muntaha.

Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya: "Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]

Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai: "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah "Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan "Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).

Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah). Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani, bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia menuju kebenaran (hanif).

Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak Nampak padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs, kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu. Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah), diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim). Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim, dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk menemukan kebenaran.

Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran. Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12]. Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted," termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali. Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri yang mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.

Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya" tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang mendapatkan murka dari Allah.

Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]

Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban "berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh), diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar), lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan, lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar, [15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras mendekati Tuhan.[16]





SHALAT (2/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak. Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak, sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final (al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia; Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah Maha Lembut, Maha Teliti." [21]

Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah, yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah") kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat kita.

MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)

Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri, khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.

Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga. Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.

Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung (pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang miskin.

Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya peringatan dalam firman itu.

Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah. Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.

Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan. Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.

Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25] Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26] Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya.

Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan! [27]

Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat. Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:

Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya Kecuali golongan yang beruntung (kanan) Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya, tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]

Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari pembalasan (akhirat).

Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat -- selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita-- ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan komitmen sosial yang meluas.

CATATAN

1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).

2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.

3. Ibid.,hal. 13

4. Ibid., hal. 24

5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).

6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).

7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.

8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."

9. QS. al-Hadid 57:4

10. QS. Thaha 20:14.

11. QS. al-Baqarah/2:156.

12. QS. al-A'raf/7:65.

13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.

14. QS. al-Nisa'/4:103.

15. QS. al-Baqarah/2:238.

16. QS. al-Insyirah/94:7-8.

17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).

18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.

19. QS. al-Ikhlash/112:4.

20. QS. al-Syura/42:11.

21. QS. al-An'am/6: 102-3.

22. QS. al-Ankabut/29:45.

23. QS. al-Ma'un/107:1-~.

24. QS. al-Ankabut/29:45.

25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.

26. QS. al-Ma'un/107:

27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.

28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.

ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH

ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH

Oleh Masdar F. Mas'udi

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan
memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung
kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting
bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya
kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"
itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai
tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit
orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,
suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya
diperlihatkan juga.

Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan
sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak
masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain
(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara
mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan
shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba
terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi
orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.
Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di
alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya
pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara
terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,
bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.

Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis
halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan
munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan
langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam
datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh
manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.
Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala
kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan
maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa
baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi
laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,
manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki
kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau
saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak
punya urusan.

Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran
yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul
(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul
artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya
bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam
ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir
dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika
teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris
bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut
ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang
bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa
yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara
implisit haruslah ma'qul.

Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih
mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja
mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul
untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,
satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,
yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau
keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada
pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya
rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi
itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi
hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.

Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya
materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan
meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian
rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan
tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan
serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki
bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi
agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang
lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula
dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di
bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja
membuntuti.

Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi
kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang
dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang
diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang
tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan
bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan
berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia
mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran
lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan
pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang
dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal
dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan
anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk
menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,
yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.

Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral
hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun
penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang
kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran
terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem
hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti
satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi
alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya
dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila
pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia
yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga
negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit
ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,
18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah
lenyap berikut seluruh akar-akarnya.

Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak
sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan
seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi
yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,
setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib
pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat
kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua
pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling
diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,
atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?

Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara
yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti
yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap
negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,
seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila
lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut
zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai
melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan
penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki
absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak
(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.

Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat
dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang
pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan
rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,
kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih
sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di
negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga
perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik
kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah
sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka
tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para
penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan
Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada
hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.

Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi
lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)
memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam
rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan
rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi
sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik
secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi
juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,
yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang
paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya
(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di
tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan
terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang
justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia
diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.

Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam
alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang
paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau
melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui
sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi
kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan
sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja
yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama
sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika
yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu
sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang
tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa
rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki
negara.

Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak
orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah
menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum
lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat
bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.
Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia
Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya
(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang
miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap
menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun
yang berupa pinjaman (loan).

Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni
untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem
kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang
merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika
dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita
bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi
kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan
rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka
(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah
kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau
pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik
mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan
para kaya kapitalis, selaku cukongnya.

Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,
sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat
bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran
kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata
pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)
sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman
ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,
bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni
beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak
sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur
yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang
kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat
yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya
diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,
diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang
sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite
politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.

Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi
kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan
sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi
terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak
ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk
mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,
jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide
pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya
mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari
kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok
tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini
jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga
negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat
selingkuh. So, what?!

Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan
atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya
tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih
luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun
konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga
negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama
belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas
manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan
besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi
yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan
bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun
--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan
jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada
diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang
paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang
mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan
kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus
menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu
jahat yang mengitarinya."

Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia
tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga
negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan
sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,
lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,
dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial
(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar
keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi
kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi
kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari
sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan
pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan
segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan
kesejahteraan) bagi semuanya.

Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan
kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus
diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan
pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang
sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari
sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.
Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin
merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus
berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa
keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan
itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,
apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Selasa, 22 Desember 2009

Manajemen Berbasis Sekolah BELAJAR DARI PENGALAMAN ORANG LAIN

Manajemen Berbasis Sekolah BELAJAR DARI PENGALAMAN ORANG LAIN

Pusdiklat Pegawai Depdiknas

Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manfaat MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut(Kathleen, ERIC_Digests, downloaded April 2002).
• Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
• Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
• Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
• Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
• Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
• Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah.
Apa pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mecakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan ban tuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah. Ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid di tingkat sekolah menengah. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
Syarat Penerapan MBS
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup "seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya."
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.

• MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
• MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
• Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
• Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
• Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

Hambatan Dalam Penerapan MBS Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.

Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
MBS dan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar muird. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, downloaded April 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasi-kan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.

SUMBER ACUAN

American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance, http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed336845.html
Kathleen Kubick, School-Based Management, http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed301969.html